PROSES belajar mengajar (PBM) di Distrik Jila, Kabupaten Mimika tak berjalan selama dua tahun. Anak usia sekolah terpaksa menghabiskan waktu senggangnya dengan bermain perang-perangan atau masuk keluar hutan untuk berburuh. Sebagian diantara mereka ikut bergabung dengan orang tuanya membongkar lahan untuk berkebun. Bangunan sekolah dan rumah guru tampak kosong melompong tak berpenghuni. Beberapa ruang kelas bahkan dipenuhi kotoran babi.
Pemandangan itu menjadi hal yang biasa selama kurun waktu dua tahun lebih di Distrik Jila yang menjadi pusat pemerintahan. Melihat kondisi pendidikan yang memprihatinkan itu, anggota TNI Yonif 754/ENK yang bertugas di wilayah tersebut terpaksa mengambilalih tugas para guru. “Hanya karena prihatin dengan keadaan anak-anak yang tidak bersekolah selama ini sehingga kami ikut mengajar anak-anak. Tekad kami cuma satu, anak-anak jangan sampai buta huruf. Minimal mereka bisa membaca dan menulis,” kata salah seorang anggota TNI Yonif 754/ENK kepada LAndAS di Jila.
Kehadiran para guru di Jila hanya disaat menjelang ujian atau ulangan. Itupun anak-anak selalu menjadi korban lantaran semua bahan ujian diisi sendiri oleh para guru. Niat baik anggota TNI untuk mengajar anak-anak di kampung itu terpaksa berhenti sejak adanya protes dari para orang tua.
“Masyarakat Jila khususnya orang tua murid sangat sadar bahwa tugas kita sebagai aparat keamanan, bukan sebagai guru. Mereka bilang, guru sudah dibayar oleh negara untuk mengajar jadi bapak-bapak tentara jangan rangkap tugas lagi. Biar guru-guru harus pulang untuk mengajar dan jangan makan gaji buta,” jelas salah seorang anggota TNI mengutip pernyataan warga masyarakat.
Menyikapi protes warga Jila, aparat TNI lantas berhenti mengajar. Padahal mereka (TNI-Red) tak tegah melihat anak-anak sekolah menjadi korban pendidikan. Mengisi hari-hari ‘libur’ selama dua tahun itu, sebagian anak-anak menjadi tenaga buruh kasar membantu kontraktor yang sedang mengerjakan proyek-proyek pemerintah di daerah Jila. Herannya, uang yang mereka terima bukan untuk membeli pakaian seragam atau buku dan alat tulis. Uang tersebut digunakan bermain judi. “Kita saja kalah bermain judi dengan anak-anak kecil di Jila. Mereka tidak bisa membaca dan menulis tapi bisa mengenal nilai uang,” kata anggota TNI lainnya.
Pengamatan LAndAS di Distrik Jila, jangankan proses belajar mengajar, pelayanan kesehatan dan pemerintahan distrik-pun tak berjalan. Kantor Distrik yang dibangun dengan kontruksi papan itu tampak kosong. Aparat Distrik lebih memilih tinggal di Timika. Hal serupa juga terjadi pada pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan tak berada di tempat tugas. Pasien yang datang berobat akhirnya mengunjungi Pos TNI Yonif 754/ENK.
Seringnya melayani pasien membuat persediaan obat untuk kebutuhan aparat TNI kerap berkurang. Menurut pengakuan aparat TNI, jika mereka tak memberi bantuan kesehatan maka masyarakat akan menjadi korban. “Mudah-mudahan saja ada perhatian dari pemerintah kabupaten agar pelayanan kesehatan dan proses belajar mengajar serta pelayanan pemerintahan bisa kembali normal. Kasihan masyarakat akhirnya jadi korban,” keluh beberapa anggota TNI. (thobias maturbongs)
Sumber: www.lpmak.org
Pemandangan itu menjadi hal yang biasa selama kurun waktu dua tahun lebih di Distrik Jila yang menjadi pusat pemerintahan. Melihat kondisi pendidikan yang memprihatinkan itu, anggota TNI Yonif 754/ENK yang bertugas di wilayah tersebut terpaksa mengambilalih tugas para guru. “Hanya karena prihatin dengan keadaan anak-anak yang tidak bersekolah selama ini sehingga kami ikut mengajar anak-anak. Tekad kami cuma satu, anak-anak jangan sampai buta huruf. Minimal mereka bisa membaca dan menulis,” kata salah seorang anggota TNI Yonif 754/ENK kepada LAndAS di Jila.
Kehadiran para guru di Jila hanya disaat menjelang ujian atau ulangan. Itupun anak-anak selalu menjadi korban lantaran semua bahan ujian diisi sendiri oleh para guru. Niat baik anggota TNI untuk mengajar anak-anak di kampung itu terpaksa berhenti sejak adanya protes dari para orang tua.
“Masyarakat Jila khususnya orang tua murid sangat sadar bahwa tugas kita sebagai aparat keamanan, bukan sebagai guru. Mereka bilang, guru sudah dibayar oleh negara untuk mengajar jadi bapak-bapak tentara jangan rangkap tugas lagi. Biar guru-guru harus pulang untuk mengajar dan jangan makan gaji buta,” jelas salah seorang anggota TNI mengutip pernyataan warga masyarakat.
Menyikapi protes warga Jila, aparat TNI lantas berhenti mengajar. Padahal mereka (TNI-Red) tak tegah melihat anak-anak sekolah menjadi korban pendidikan. Mengisi hari-hari ‘libur’ selama dua tahun itu, sebagian anak-anak menjadi tenaga buruh kasar membantu kontraktor yang sedang mengerjakan proyek-proyek pemerintah di daerah Jila. Herannya, uang yang mereka terima bukan untuk membeli pakaian seragam atau buku dan alat tulis. Uang tersebut digunakan bermain judi. “Kita saja kalah bermain judi dengan anak-anak kecil di Jila. Mereka tidak bisa membaca dan menulis tapi bisa mengenal nilai uang,” kata anggota TNI lainnya.
Pengamatan LAndAS di Distrik Jila, jangankan proses belajar mengajar, pelayanan kesehatan dan pemerintahan distrik-pun tak berjalan. Kantor Distrik yang dibangun dengan kontruksi papan itu tampak kosong. Aparat Distrik lebih memilih tinggal di Timika. Hal serupa juga terjadi pada pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan tak berada di tempat tugas. Pasien yang datang berobat akhirnya mengunjungi Pos TNI Yonif 754/ENK.
Seringnya melayani pasien membuat persediaan obat untuk kebutuhan aparat TNI kerap berkurang. Menurut pengakuan aparat TNI, jika mereka tak memberi bantuan kesehatan maka masyarakat akan menjadi korban. “Mudah-mudahan saja ada perhatian dari pemerintah kabupaten agar pelayanan kesehatan dan proses belajar mengajar serta pelayanan pemerintahan bisa kembali normal. Kasihan masyarakat akhirnya jadi korban,” keluh beberapa anggota TNI. (thobias maturbongs)
Sumber: www.lpmak.org
0 komentar:
Posting Komentar