Kamis, Desember 06, 2007

REFLEKSI NATAL

"NATAL YANG TIDAK SEKEDAR TRADISI"
(Hasil Refleksi 5 hari di Jayapura)
Oleh: Robert Manaku*

Tanpa terasa hari Natal pun kini datang lagi. Meski, baru memasuki Minggu pertama Desember, namun nuansa Natal itu sudah sangat kental.
Di mana-mana nyanyian; malam kudus sunyi senyap, dari pulau dan benua dan masih banyak lagi lagu yang mulai dikumandangkan. Di pusat-pusat perbelanjaan juga mulai marak dengan ‘perang’ diskon. Hanya satu alasan yakni manyambut Natal 25 Desember 2007.
Begitu juga di Kota Jayapura dan sekitarnya. Tidak sedikit instansi baik pemerintah, swasta maupun kelompok-kelompok arisan sudah merayakan natal 2007. Lantas apa makna sesungguhnya dari natal itu bagi yang merayakannya? Bagaimana pula sebaiknya kita memaknai natal itu?
Yesus lahir dalam kesederhanaan di tempat yang sangat hina. Padahal Dia adalah Raja, yang bisa saja dapat memilih tempat dimana Dia akan dilahirkan. Seperti di hotel-hotel bertingkat. Misalnya jika di Kota Jayapura ada Swissbelhotel yang mewah ataukah hotel berlantai 15 di Jakarta seperti yang saya lihat.
Bahkan lebih dari itu, Dia bisa saja memilih istana yang megah dan penuh keindahan, tetapi sebaliknya Dia justru memilih kandang dengan bau yang mungkin saja menyengat. Dia bisa saja memilih untuk diletakkan di pembaringan yang empuk, tapi Dia justru memilih palungan.
Dia bisa saja memilih sutra termahal untuk menyelimuti-Nya karena Dia Raja dan Tuhan, tetapi Dia membiarkan kain lampin yang kasar dan sederhana membungkus-Nya.
Saat Dia lahir, bisa saja Dia mengundang pembesar dan golongan bangsawan untuk datang melihat-Nya, tetapi Dia justru memilih para gembala sebagai tamu kehormatan!
Kelahiran Yesus itu memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Namun anehnya Natal sekarang ini sudah identik dengan kemewahan. Seakan jika tidak mewah, bukan Natal namanya. Kalau anggaran dana Natal tidak membengkak sampai berpuluh-puluh juta, Natal yang kita peringati serasa kurang afdol. Dengan dalih rohani, kita selalu berkata bahwa kita sedang menyambut kelahiran Raja di atas segala raja, sehingga segala pemborosan yang kita berikan tidak berarti sama sekali.
Memang tidak pantas jika kita membuat perhitungan finansial terhadap Tuhan. Namun, apakah benar semua kemewahan itu untuk Tuhan, ataukah sebaliknya untuk memuaskan keinginan kita sendiri? Bukankah sejujurnya kita sungkan dengan tamu undangan yang datang dalam acara Natal kita itu, sehingga mau tidak mau kita akan menyiapkan acara itu semewah mungkin? Padahal bisa saja kita merayakan Natal dalam kesederhanaan tanpa mengurangi esensi Natal itu sendiri.
Jika saja kita bisa menengok jauh ke belakang, tentang bagaimana suasana natal yang pertama di Betlehem, maka itu bisa menyadarkan kita bahwa sesungguhnya natal itu bukanlah suatu pesta pora, hura-hura dan kemewahan yang sia-sia. Natal pertama diwarnai dengan kesederhanaan dan kedamaian.
Beginilah cuplikannya; sementara semua penduduk desa kecil itu sudah tertidur pulas, di suatu tempat, tepatnya di sebuah kandang sederhana, terlihat Yusuf dengan Maria yang sedang menggendong bayi Yesus. Serombongan gembala datang dengan ekspresi yang belum pernah terlihat sebelumnya. Suasana di sana begitu hangat, tenang, teduh dan dipenuhi kedamaian yang tak terkatakan.
Seiring dengan berjalannya waktu, Dua puluh abad kemudian, Natal masih diperingati. Kisahnya masih terus diceritakan. Bahkan cerita Natal itu tampaknya tidak pernah usang. Hanya sayang, kedamaian yang menyelimuti Natal pertama berangsur-angsur hilang. Kini kita memperingati Natal, tapi tak pernah merasa damai. Sebaliknya, Natal tidak lebih dari kegiatan tradisi tahunan yang membuat kita capai. Bahkan kadang kala kita memperingati dengan kegelisahan dan kegalauan dalam hati. Kehadiran ‘Sang Raja Damai’ itu tidak cukup memberi rasa tenang dan rasa aman. Berita kelahiran Juruselamat tidak sanggup menghembuskan rasa damai di hati kita. Tak heran jika Natal tidak begitu berkesan dalam hidup kita. Sama sekali tidak membekas. Bahkan berlalu begitu saja.
Jika kita mau merenungkan lebih jauh, bukankah benar bahwa makna Natal dalam pengertian yang sebenarnya telah bergeser begitu jauh? Makna Natal yang sebenarnya diganti dengan hal-hal lahiriah.
Digantikan dengan pesta pora, hura-hura, dan kemewahan yang sia-sia. Dilewatkan begitu saja, bahkan sebelum kita bisa mengambil waktu sejenak untuk berefleksi.
Alangkah indahnya jika kita bisa kembali ke Natal yang pertama. Merasakan Kristus dalam keheningan, membuat jiwa kita lebih peka terhadap suara-Nya. Merasakan sang Mesias dalam kesederhanaan, menggugah empati kita terhadap sesama yang hidup dalam kekurangan dan kelompok yang tertindas. Merasakan Kristus dalam embusan damai, mengusir jiwa yang gelisah dan galau.
Kiranya natal bermakna bagi anda.
"Selamat merayakan Natal"
*Staf Yayasan Binterbusih