Jumat, Mei 08, 2009

POTRET PENDIDIKAN DASAR DI MIMIKA

Seperti biasa, sebagian wilayah Timika gelap total kena pemadaman bergilir. Sekali padam tidak main-main, bisa sampai enam jam. Di wilayah yang terkena pemadaman, warga Timika biasanya menghabiskan waktu dengan bercengkrama dengan teman atau keluarga.

Tapi di sebuah rumah di daerah Kwamki Baru yang juga terkena pemadaman listrik, Suster Sisilia duduk disinari temaram cahaya lilin. Di sekitarnya ada beberapa anak kecil berusia antara 5 – 10 tahun yang sibuk dengan aktivitas mereka masing­-masing. Sebenarnya anak-anak itu berkumpul untuk belajar, tapi yah apa mau dikata, namanya juga anak-anak. Apalagi anak-anak yang tidak pernah terbiasa duduk belajar di dalam ruang­an. Jalanan gelap kota Timika jauh lebih menarik daripada buku cerita yang dibacakan Suster Sisilia.
Tapi toh keadaan itu tidak membuat Suster Sisilia patah semangat. Dia tetap berusaha keras mendidik anak-anak suku Amungme dan Kamoro yang banyak berkeliaran di jalanan dan sudut-sudut kota Timika.

Perjalanan Suster Sisilia dimulai pada tahun 2005. Saat itu setiap jam empat sore hingga enam sore setiap hari, Suster Sisilia menyempatkan diri berjalan mengelilingi kota Timika. Setiap hari dia bertemu dengan anak-anak suku Amungme dan Kamoro yang tidak sekolah dan berkeliaran di jalanan Timika. Kebanyakan bekerja sebagai pemulung.

“Lingkungan di Timika berpengaruh besar bagi mereka, anak-anak itu gampang tertular kebiasaan mabuk,” kata Suster Sisilia. Hal itulah yang mendorong Suster Sisilia mengirimkan anak-anak suku Amungme dan Kamoro untuk melanjutkan pendidikan ke luar Timika, seperti ke Nabire, Merauke, bahkan hingga ke Malang. Bia­ya pendidikan dinegosiasikan dengan lembaga studi tempat Suster mengirim­kan anak-anak.

Usaha keras Suster Sisilia membuat banyak lembaga studi yang mau mendidik anak-anak Amungme dan Kamo­ro tanpa biaya. Sekalipun demikian, Suster yang tergabung di kongregasi Alma ini tidak mau orang tua jadi lupa dengan anak-anak mereka. Setiap bulan para orang tua menyisihkan penghasilan mereka dari jualan sayur di pasar untuk kemudian dikirimkan ke anak-anak mereka. “Sekalipun tidak banyak tidak masalah, supaya mereka merasa terlibat dan anak-anak masih memiliki ikatan dengan orang tua,” kata Suster Sisilia yang kini sudah melepaskan diri dari kongregasi Alma.

Suster Sisilia percaya bahwa mendidik anak-anak yang masih dalam tingkat pendidikan dasar akan lebih mudah dan lebih penting daripada mendidik mereka yang sudah beranjak remaja. Ibarat pohon, “anak-anak itu masih bisa dibengkokkan dan dibentuk, kalau yang sudah remaja itu susah sekali,” menurut Suster Sisilia.

Kerja keras Suster Sisilia ini meng­ingat­kan saya pada kisah saudara kembar Ibu Sri Rosianti dan Ibu Sri Rianti yang mendirikan Sekolah Darurat Kartini di Jakarta. Para siswa yang belajar di Sekolah Darurat Kartini adalah anak pedagang asongan, pemulung, dan tukang ojek. Sekolah dibuka sejak pukul 07.00 hingga pukul 10.00 untuk murid Taman Kanak-kanak. Sedangkan dari pagi hingga siang hari, waktunya bagi para murid SD, SMP, dan SMA untuk belajar pengetahuan umum. Setelah itu mereka belajar berbagai macam ketrampilan seperti menyulam, bengkel, dan memasak. Dengan demikian diharapkan selain memiliki bekal akademik, anak-anak juga memiliki keahlian pendukung. Selain kerap menyambangi lima sekolah dan mengajar, Ibu Sri Rosianti dan Ibu Sri Rianti merogoh kocek pribadi mere­ka untuk membiayai sekolah darurat yang mereka dirikan.

Kehadiran sekolah yang modal awalnya hanya puluhan buku bacaan itu tentu saja mendapat respon positif dari masyarakat. Kini sudah ada lima Sekolah Darurat di Jakarta yang didirikan Ibu Sri Rosianti dan Ibu Sri Rianti. Sayangnya pada bulan Agustus 2008 lalu Sekolah Darurat Kartini di bawah jembatan tol Penjaringan, Jakarta, yang menampung 420 anak hancur terbakar, bersama dengan ratusan gubuk di bawah jembatan tol Penjaringan. Pemerintah kota Jakarta Utara melarang warga untuk tinggal di tempat itu lagi.

Karena beberapa hal, Suster Sisilia kini sendiri juga tidak lagi mendidik dan mengirimkan anak-anak Mimika belajar di luar Mimika. Suster Sisilia kini aktif di YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan). Kami mengakhiri pembicaraan deng­an canggung. Saya tidak sempat berta­nya­ lebih jauh, seperti misalnya apakah sekarang dia masih meluangkan waktunya mengajar anak-anak atau apakah dia masih menjalin komunikasi dengan anak-anak yang pernah diki­rim­nya.

Sebagian dari kita mungkin memiliki catatan tersendiri atas pribadi Suster Sisilia. Demikian juga di Jakarta sana, beberapa orang mungkin memiliki pandangan yang berbeda atas kerja keras Bu Sri Rosianti dan Sri Rianti. Tapi sungguh, tidak mudah menemukan orang seperti Suster Sisilia atau ibu Sri Rosianti dan Sri Rianti.

Tidak mudah juga bagi kita membuka hati bagi pribadi-pribadi luar biasa yang mendedikasikan dirinya bagi pendidikan di Mimika saat ini, para orang muda yang didatangkan Keuskupan Timika dan bertugas di pedalaman Mimika, seperti di Atuka, Amar, hingga Potowayburu. Jauh dari berbagai kesenangan dan kemudahan yang seolah sudah melekat di gene­rasi kini. Jangankan di pedalaman Papua, bukan hal mudah menemukan orang yang mau menjadi guru di pelo­sok Jawa.

Dalam perjalanan ke Atuka beberapa waktu lalu, saya terduduk di dalam kapal. Karena lelah saya lebih banyak merebahkan diri di atas tumpukan barang. Perjalanan malam membuat hutan di sepanjang sungai Wania seolah memiliki jiwa sebagaimana layaknya manusia.

Saya tidak mengharapkan peman­dang­an indah, bisa melamun dan merokok dengan enak tanpa ter­ganggu­ suara mesin saja sudah sangat cukup. Tapi mendadak saya mendapati sebuah pemandangan menakjubkan; sebuah pohon yang dike­rumuni ratusan kunang-kunang. Belum habis ketakjuban saya, tidak lama berselang kembali nampak sebuah pohon yang menjadi panggung tarian ratusan kunang-kunang.

Kegelapan nyatanya bukanlah sebuah titik akhir, tapi masa penantian akan terang dan pengujian kekuatan harapan kemanusiaan kita. Sekalipun banyak sekali gedung sekolah yang berada dalam kondisi memprihatinkan di daerah pantai, ada secercah harapan yang datang dari wajah anak-anak Mimika yang berangkat sekolah dengan seragam dan buku seadanya serta dari para guru kontrak Keuskup­an Timika.

Bagi kita para penumpang “kapal besar” LPMAK yang sedang mengarungi kegelapan kondisi pendidikan di Mimika ini, sudah seharusnya kita memperhatikan dan belajar dari cahaya-cahaya kecil di luar sana, dari para individu luar biasa yang bekerja dengan segala keterbatasan mereka. Terlebih jika kita memang serius memperhatikan perkembangan pendidikan dasar di Mimika. (L. Onny Wiranda, Konsultan Pendam­ping Biro Pendidikan)

0 komentar: